Krisis 1998: Ketika Indonesia Hampir Hancur! скачать в хорошем качестве

Krisis 1998: Ketika Indonesia Hampir Hancur!

Jakarta seperti kota tanpa aturan. Asap hitam membubung dari pusat perbelanjaan yang terbakar, kaca-kaca pecah berhamburan di jalanan, suara teriakan bercampur dengan dentuman keras dari bangunan yang ambruk. Di sudut lain, massa berlarian membawa barang hasil jarahan—dari elektronik hingga sembako—sementara aparat keamanan justru menghilang. Indonesia sedang menghadapi salah satu titik terkelam dalam sejarahnya.   Tapi bencana ini tidak terjadi begitu saja. Akar krisis telah tertanam jauh sebelum Mei sembilan belas sembilan delapan. Sejak pertengahan sembilan belas sembilan tujuh, ekonomi Indonesia mulai terguncang oleh krisis keuangan Asia. Negara-negara tetangga seperti Thailand dan Korea Selatan mengalami dampak besar, tetapi Indonesia terkena pukulan paling keras. Mata uang rupiah yang semula stabil di angka dua ribu empat ratus rupiah per dolar AS jatuh secara drastis hingga menyentuh enam ribu rupiah per dolar AS hanya dalam beberapa bulan. Ketidakstabilan ini membuat harga kebutuhan pokok meroket—beras, minyak goreng, dan gula menjadi barang mewah bagi rakyat kecil. PHK massal terjadi di mana-mana, jutaan orang kehilangan pekerjaan, dan kepercayaan terhadap pemerintah semakin runtuh.   Kemarahan rakyat meledak. Demonstrasi mulai bermunculan di berbagai kota, dipimpin oleh mahasiswa yang menuntut reformasi total dan mundurnya Presiden Soeharto. Di Universitas Trisakti, Jakarta, unjuk rasa besar terjadi pada dua belas Mei sembilan belas sembilam delapan. Mahasiswa bergerak dengan damai, tetapi situasi berubah mencekam ketika aparat keamanan mulai bertindak represif. Empat mahasiswa tertembak mati.   Darah yang tertumpah di Trisakti menjadi pemicu ledakan sosial yang tak bisa dihentikan. Pada tiga belas Mei sembilan belas sembilan delapan, Jakarta mulai bergolak. Massa turun ke jalan dalam jumlah besar. Namun, yang terjadi bukan sekadar demonstrasi—melainkan anarki total. Toko-toko dibakar, pusat perbelanjaan dijarah, dan sejumlah perempuan mengalami pelecehan dan kekerasan yang hingga kini masih menjadi luka sejarah. Di beberapa tempat, orang-orang terjebak di dalam gedung yang terbakar, tak bisa menyelamatkan diri. Ratusan nyawa melayang.   Yang membuat situasi semakin mencurigakan adalah laporan dari berbagai saksi mata. Beberapa mengatakan bahwa massa anarkis bukan berasal dari warga lokal. Bus-bus penuh orang asing tiba-tiba datang, mereka langsung merusak dan membakar, lalu menghilang. Sejumlah pihak menduga ada aktor-aktor yang menggerakkan kerusuhan secara sistematis.   Ketika situasi semakin tidak terkendali, tekanan internasional terhadap Indonesia meningkat. Negara-negara asing mulai menarik investasinya, IMF (International Monetary Fund) memberikan tekanan ekonomi yang lebih berat, dan kepercayaan terhadap pemerintahan Soeharto benar-benar runtuh. Akhirnya, pada dua puluh satu Mei sembilan belas sembilan delapan, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya setelah berkuasa selama 32 tahun.   Namun, apakah ini akhir dari segalanya? Tidak. Meskipun reformasi telah dimulai, luka krisis sembilan belas sembilan delapan masih membekas hingga hari ini. Banyak pertanyaan yang tak pernah benar-benar terjawab: Apakah ini hanya kemarahan spontan rakyat, atau ada skenario besar yang memang dirancang untuk menjatuhkan kekuasaan?  Siapa dalang sebenarnya di balik tragedi ini?  Sejarah hanya mencatat peristiwanya, tetapi kebenaran sejati masih tersembunyi di balik tirai kelam masa lalu.