У нас вы можете посмотреть бесплатно Bukan PKP, kok di pungut PPN ?? Simak penjelasaanya или скачать в максимальном доступном качестве, видео которое было загружено на ютуб. Для загрузки выберите вариант из формы ниже:
Если кнопки скачивания не
загрузились
НАЖМИТЕ ЗДЕСЬ или обновите страницу
Если возникают проблемы со скачиванием видео, пожалуйста напишите в поддержку по адресу внизу
страницы.
Спасибо за использование сервиса ClipSaver.ru
Petunjuk mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPN dan/atau PPnBM terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003. Namun dalam PMK tersebut secara khusus mengatur transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2), bahwa: Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Lalu bagaimana apabila Bendahara bertransaksi dengan Non-PKP? Secara tegas apabila merujuk pada PMK-563/KMK.03/2003 jelas tidak sesuai, atau paling tidak kita dapat mengatakan bahwa Transaksi dengan Non-PKP tidak ada aturannya. Apabila merujuk pada aturan mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, meskipun tidak secara tegas menyatakan harus bertransaksi dengan PKP tetapi secara implisit disebutkan bahwa setiap pembayaran oleh Bendahara wajib melakukan pemotongan/pemungutan pajak sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Demikian juga dengan aturan berkaitan dengan Penyusunan Anggaran setiap item pengadaan barang/jasa Objek PPN maka di dalamnya sudah termasuk PPN. Dengan demikian bagaimana pun kondisinya, selama yang dibayar adalah BKP/JKP maka pungut PPN adalah suatu kewajiban, adapun PKP atau bukan PKP hanya mekanisme saja. Kondisi di lapangan terkadang tidak mendukung, adakalanya barang dan jasa yang dibutuhkan hanya tersedia oleh Non-PKP juga ada kalanya terdapat Pemerintah Daerah, untuk memajukan ekonomi setempat menghimbau bendahara bertransaksi dengan UMKM sementara UMKM bila dilihat dari segi Omset belum tentu merupakan PKP. Pada prinsipnya Bendahara harus secara tegas memilih rekanan supplier dengan status PKP, agar semua mekanisme Pemungutan PPN dapat dilaksanakan secara paripurna. Maksudnya mulai dari proses pemotongan, penyetoran sampai dengan pelaporan dapat dilakukan sesuai tata cara dalam aturan yang berlaku, yaitu: 1. Jumlah PPN adalah jumlah yang tertera dalam Faktur Pajak yg diterbitkan oleh PKP (supplier barang/jasa); 2. Pajak disetor atas nama PKP supplier/rekanan; 3. Dilaporkan melelui SPT PPN PUT dengan menyebutkan Identitas PKP dan Faktur Pajak dengan jelas. Lalu bagaimana jika dalam kondisi tidak memungkinkan bertransaksi dengan PKP? Penulis tidak berposisi menyarankan praktik ini karena tidak ada aturan tegas yang mendasarinya. Namun memperhatikan beberapa Bendahara melakukan praktik berikut: 1. PPN tetep dipungut, dengan dasar PPN sudah dianggarkan dan apabila tidak dipungut khawatir jadi temuan karena setiap objek PPN wajib pungut PPN; 2. Dalam menghitung nilai PPN, sebuah transaksi terlebih dahulu menghitung nilai gross-up (nilai transaksi dikali 110/100) sehingg menjadi transaksi "plus PPN" dicatat sebagai pengeluaran negara senilai Transaksi+PPN 2. Pajak disetor a.n. Bendahara. Apabila Tanpa Faktur tetap disetor a.n. Supplier maka bagi Supplier sebenarnya tidak ada PPN terutang dan berpotensi Supplier tersebut dikukuhkan secara jabatan; 3. Dalam pelaporan PPN PUT, transaksi tersebut didukung dengan bukti yang dipersamakan dengan faktur, biasanya Commercial Invoice; Demikian sedikit share mengenai transaksi dengan Non-PKP. Pada prinsipnya di lapangan PPK dan PBJ dapat membantu memininalisir adanya transaksi dengan Non-PKP melalui lebih selektif memilih Supplier dan proses pengadaan barang dan jasa secara lebih terrencana.