У нас вы можете посмотреть бесплатно GERBANG SUNYI KARTA PURBA или скачать в максимальном доступном качестве, видео которое было загружено на ютуб. Для загрузки выберите вариант из формы ниже:
Если кнопки скачивания не
загрузились
НАЖМИТЕ ЗДЕСЬ или обновите страницу
Если возникают проблемы со скачиванием видео, пожалуйста напишите в поддержку по адресу внизу
страницы.
Спасибо за использование сервиса ClipSaver.ru
Tarmuji selalu merasa tertarik pada tempat-tempat yang dilupakan waktu. Bukan sebagai peneliti atau arkeolog, tetapi sebagai seorang kolektor kisah. Hari itu, ia berada di kaki Gunung Padang, jauh dari keramaian situs utama, mencari sebuah “batu lingga” yang konon tersimpan di area tersembunyi yang hanya diketahui oleh warga desa setempat—sebuah lokasi yang mereka sebut Punden Sepi. Udara di hutan itu lembap dan berbau tanah basah yang bercampur aroma kemenyan tua. Matahari telah tergelincir, meninggalkan sisa cahaya jingga yang merayap di antara pohon-pohon beringin raksasa. “Yakin di sini, Muji?” tanya Bayu, teman sekaligus pemandu yang dibayarnya mahal, suaranya terdengar ragu. Tarmuji mengangguk, senter di tangannya bergerak-gerak liar. “Menurut peta tua ini, kita hanya perlu melewati tiga pohon kenanga kembar, lalu belok ke barat daya. Punden Sepi itu persis di tengah cekungan. Tempatnya tidak pernah dijamah, Bayu. Ini harta karun cerita!” Setelah tiga puluh menit menembus semak belukar yang berduri, mereka menemukan apa yang Tarmuji cari: sebuah cekungan kecil yang sunyi. Di tengahnya berdiri tegak sebuah batu lingga yang ukurannya tidak terlalu besar, namun permukaannya dihiasi ukiran yang begitu halus, seolah baru dipahat kemarin. Tarmuji mendekat, matanya berbinar. Ia menyentuh batu itu, merasakan dinginnya ribuan tahun yang tersimpan di dalamnya. “Luar biasa… ini bukan ukiran Sunda biasa. Lihat goresannya, seperti aksara kuno yang belum pernah aku lihat.” Bayu hanya berdiri di belakang, gelisah. “Cepatlah. Jangan berlama-lama di sini, Muji. Tempat ini punya ‘penunggu’ yang tidak suka diganggu.” Tarmuji tidak mendengarkan. Rasa penasarannya memuncak. Di bawah pangkal batu lingga itu, ia melihat ada sesuatu yang berkilauan. Ia berlutut, mengorek sedikit tanah dengan pisau lipatnya, dan menarik keluar sebuah benda. Itu adalah sebuah kunci kuningan kecil yang berkarat, dengan ukiran kepala naga yang melingkar. Bayu langsung berteriak, “Jangan ambil! Jangan sentuh, Muji!” Terlambat. Tarmuji sudah menggenggam kunci itu. Begitu kulitnya bersentuhan dengan kuningan dingin tersebut, seketika suasana di sekitar mereka berubah drastis. Cahaya jingga lenyap seketika, digantikan oleh kabut kelabu tebal yang muncul entah dari mana. Kabut itu bukan kabut biasa; ia terasa berat, berbau bunga melati yang menyengat, dan membawa serta bisikan samar seperti paduan suara ratapan yang jauh. “Bayu?” Tarmuji berbalik panik, suaranya tercekat. “Muji! Lari!” teriak Bayu, suaranya terdengar semakin jauh, tersedot oleh kabut. Tarmuji mencoba melangkah mundur, tetapi tanah di bawah kakinya terasa seperti lumpur yang menariknya ke bawah. Ia berjuang, menjatuhkan senter dan tas ranselnya, tetapi tarikan itu terlalu kuat. Dalam keputusasaan, Tarmuji merasakan kunci kuningan di tangannya memanas, memancarkan cahaya redup yang memudar ditelan kabut. Kemudian, ia mendengar suara lonceng yang berdentang perlahan, dingin, dan sangat kuno—seolah memanggilnya. Tarmuji jatuh. Semuanya menjadi gelap, dingin, dan sunyi. Ia terbangun dengan rasa pusing yang menusuk. Kabut telah hilang sepenuhnya. Tarmuji mencoba bangkit. Ia mendapati dirinya berdiri di atas jalan setapak yang terbuat dari batu andesit yang ditata rapi, seperti jalanan di ibu kota. Ia tidak lagi berada di hutan yang kotor. Di kanan kirinya, berdiri bangunan-bangunan kayu berarsitektur megah dan rumit, dihiasi ukiran naga dan flora yang asing. Atapnya menjulang tinggi, melengkung anggun, terbuat dari ijuk hitam pekat. Semua bangunan ini terlihat tua, namun terawat sempurna—seolah waktu berhenti tepat di momen kejayaan mereka. Yang paling aneh adalah kesunyian total. Tidak ada suara mobil, tidak ada kicau burung, bahkan suara napasnya sendiri terdengar begitu keras. Tarmuji melangkah. Ia melihat sekeliling. Jauh di depan, menjulang sebuah gerbang istana raksasa yang dijaga oleh patung-patung batu yang matanya seolah mengikuti pergerakannya. Ia menoleh ke belakang, ke arah dari mana ia datang. Tidak ada hutan. Tidak ada Gunung Padang. Hanya ada ujung jalan batu andesit yang menghilang ke dalam kekosongan yang gelap. Tarmuji meraba tangannya. Kunci kuningan itu masih ada, dingin dan memberat di telapak tangannya. Ia akhirnya menyadari, dengan getaran dingin yang menjalari tulang punggungnya: Ia tidak lagi berada di dunianya. Ia telah melewati batas, tersesat ke alam yang mati dan kuno. Lalu, ia melihatnya. Di salah satu jendela istana kayu yang gelap, sebuah siluet tampak berdiri. Siluet seorang wanita mengenakan pakaian bangsawan kuno, topi tingginya menutupi sebagian wajahnya. Siluet itu tidak bergerak, hanya menatap Tarmuji. Kemudian, perlahan-lahan, wanita itu mengangkat tangannya, melambai—bukan sapaan, melainkan isyarat untuk mengundang Tarmuji masuk ke dalam kesunyiannya yang mengerikan. #gerbang #kerajaan #hororindonesia #urbanlegend