У нас вы можете посмотреть бесплатно SALAWAT DULANG kilek barapi legendary from pariangan (musa dan firaun) или скачать в максимальном доступном качестве, видео которое было загружено на ютуб. Для загрузки выберите вариант из формы ниже:
Если кнопки скачивания не
загрузились
НАЖМИТЕ ЗДЕСЬ или обновите страницу
Если возникают проблемы со скачиванием видео, пожалуйста напишите в поддержку по адресу внизу
страницы.
Спасибо за использование сервиса ClipSaver.ru
Berdasarkan informasi dari mulut ke mulut, sejarah salawat dulang ini berawal dari banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar agama ke Aceh, di antaranya Syekh Burhanuddin. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari daerah itu, ajaran Islam menyebar ke seluruh wilayah MInangkabau. Saat berdakwah itu, Syekh Burhanuddin teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya menghibur sekaligus menyampaikan dakwah, yaitu rebana. Syekh Burhanuddin pun kemudian mengambil talam atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan syair-syair dakwah.[1] Informasi lain menyebutkan bahwa salawat dulang ini berasal dari Tanah Datar. Di sini salawat dulang dikembangkan oleh kelompok Tarekat Syatariah sebagai salah satu cara untuk mendiskusikan pelajaran yang mereka terima. Oleh karena itu, pesannya cenderung berisi ajaran tasawuf. Dalam pertunjukkan salawat dulang, dua pendendang duduk bersisian dan menabuh dulang bersamaan. Keduanya dapat berdendang bersamaan atau saling menyambung larik dalam syair.[2] Pendendang umumnya laki-laki. Namun, kini terdapat pula pendendang-pendendang perempuan meskipun belum begitu berterima di masyarakat Minangkabau sendiri.[3] Penampilan salawat dulang berupa tanya jawab, saling serang, dan saling mempertahankan diri sehingga pendendang kadang dijuluki menurut nama-nama senjata, seperti "peluru kendali" dan "gas beracun" dan hanya bisa dilaksanakan bila pendendang berjumlah setidaknya dua orang.[2] Pembacaan hafalan teks berdurasi antara 25 hingga 40 menit, biasanya berisi tafsiran dari ayat Alquran atau hadits yang telah ditulis sebelumnya. Sesi pembacaan satu teks ini disebut salabuahan (disebut juga satanggak atau satunggak).[3] Pertunjukkan salawat dulang dipertunjukkan pada hari-hari besar umat muslim seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha atau pada upacara bernuansa agama seperti ketika menaiki rumah baru dan khatam al-Quran. Tempat penyelenggaraan salawat dulang biasanya merupakan tempat yang dipandang terhormat menurut nilai masyarakat Minangkabau, seperti surau atau masjid, atau tempat untuk tamu yang dihormati bila diadakan di rumah penduduk (terletak di bagian kiri dari pintu masuk utama).[ (Based on information from word of mouth, the history of salawat dulang originated from the many Minang Muslim religious scholars who studied religion in Aceh, including Sheikh Burhanuddin. He then returned to Minang and settled in Pariaman. From that area, the teachings of Islam spread throughout the MInangkabau region. When preaching that, Sheikh Burhanuddin remembered the Acehnese art which had the function of entertaining as well as delivering da'wah, namely rebana. Syekh Burhanuddin then took the talam or dulang which is commonly used to eat and beat it while singing dakwah verses. [1] Other information says that this salawat dulang comes from Tanah Datar. Here salawat dulang was developed by the Shari'ah Tarekat group as a way to discuss the lessons they received. Therefore, the message tends to contain Sufism. In the salawat dulang show, two kickers sit side by side and beat the bones together. Both can sing together or connect to each other in verse. [2] The kicker is generally male. However, now there are also female kickers even though they are not yet very acceptable in the Minangkabau community itself. [3] Salawat appearance is in the form of question and answer, attack each other, and defend each other so that the kicker is sometimes dubbed according to the names of weapons, such as "guided missiles" and "poison gas" and can only be carried out if the number of the kicker is at least two people. [2] Text memorization reads between 25 to 40 minutes in length, usually containing interpretations of the Qur'anic verses or hadith that have been written beforehand. This one-text reading session is called salabuahan (also called satanggak or satunggak). [3] Salawat dulang performances are shown on Muslim holidays such as the Prophet's birthday, Eid al-Fitr, and Eid al-Adha or at religious ceremonies such as when riding a new house and Khatam al-Quran. The place for holding salawat dulang is usually a place that is considered honorable according to the values of the Minangkabau community, such as a mosque or mosque, or a place for guests to be respected if held in a resident's house (located on the left side of the main entrance).) #wenderfulindonesia #minangkabau