У нас вы можете посмотреть бесплатно Mendengarkan suara - suara di pinggiran Sungai Ciliwung или скачать в максимальном доступном качестве, видео которое было загружено на ютуб. Для загрузки выберите вариант из формы ниже:
Если кнопки скачивания не
загрузились
НАЖМИТЕ ЗДЕСЬ или обновите страницу
Если возникают проблемы со скачиванием видео, пожалуйста напишите в поддержку по адресу внизу
страницы.
Спасибо за использование сервиса ClipSaver.ru
Sungai Ciliwung, sebuah nama yang tak terpisahkan dari sejarah dan denyut kehidupan ibu kota Jakarta, adalah urat nadi air yang membentang sepanjang kurang lebih 120 kilometer. Berhulu di kawasan pegunungan—meliputi Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Cisarua di Bogor—sungai ini meliuk melalui jantung perkotaan padat, sebelum akhirnya bermuara di Laut Jawa, di kawasan utara Jakarta. Ciliwung bukan sekadar aliran air, melainkan sebuah entitas yang merekam perjalanan peradaban dan menghadapi tantangan ekologi yang kompleks. Nadi Kehidupan di Masa Lampau Dalam catatan sejarah, Sungai Ciliwung dikenal sebagai sungai yang bersih, jernih, dan menjadi sumber kehidupan utama. Pada abad ke-15 dan ke-16, muara Ciliwung adalah lokasi strategis berdirinya Pelabuhan Sunda Kelapa—pusat perdagangan internasional yang ramai didatangi pedagang dari seantero Nusantara dan dunia. Bahkan, kedatangan bangsa Belanda (VOC) dan pembangunan kota Batavia didasarkan pada tata letak kota di Belanda, dengan Ciliwung sebagai elemen sentral yang diibaratkan seperti kanal-kanal Eropa. Ciliwung pada masa itu dijuluki "Ratu dari Timur" dan airnya yang bersih sering diambil oleh kapten kapal untuk perbekalan. Sungai ini berfungsi sebagai jalur transportasi vital, sumber air domestik, bahkan benteng alami pertahanan Kerajaan Pajajaran. Peran historisnya menjadikan Ciliwung bukan hanya fitur geografis, melainkan warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai. Krisis dan Tantangan Ekologi Masa Kini Namun, seiring dengan pesatnya urbanisasi dan kepadatan penduduk yang ekstrem, citra Ciliwung berubah drastis. Kisah kejernihan masa lampau kini digantikan oleh realitas suram, yang ditandai oleh dua masalah utama: banjir dan pencemaran. (1) Krisis Hidrologis (Banjir): Ciliwung adalah penyumbang volume banjir yang signifikan di Jakarta. Hilangnya daerah resapan air di wilayah hulu, masifnya pembangunan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), serta penyempitan dan pendangkalan badan sungai akibat sedimentasi dan sampah, membuat sungai tidak mampu menampung debit air saat musim hujan tiba. Akibatnya, limpasan air meluap dan menyebabkan bencana banjir tahunan yang merugikan. (2) Krisis Kualitas Air (Pencemaran): Beban pencemaran yang ditanggung Ciliwung saat ini berada pada tingkat kritis. Sumber pencemaran didominasi oleh limbah domestik dan sampah rumah tangga. Data menunjukkan bahwa beban Biochemical Oxygen Demand (BOD)—indikator utama pencemaran organik—jauh melampaui daya tampung alami sungai. Kondisi ini membuat Ciliwung tidak hanya kritis secara hidrologis, tetapi juga secara ekologis, menghilangkan keanekaragaman hayati dan menjadikan airnya tidak layak guna. Upaya Pemulihan dan Harapan Menyadari krisis ini, berbagai upaya telah dilakukan. Sejak tahun 1982, strategi normalisasi sungai telah menjadi program andalan pemerintah untuk mengatasi banjir, melalui pengerukan dan pembangunan tanggul. Di sisi lain, muncul juga gerakan untuk menerapkan pendekatan naturalisasi yang bertujuan mengembalikan fungsi ekologis sungai, membuat tebing sungai lebih landai dan hijau sebagai penyangga alami. Di tingkat masyarakat, banyak komunitas dan aktivis lingkungan yang bekerja tanpa lelah untuk membersihkan, mengamati ekosistem, dan mengedukasi publik tentang pentingnya Ciliwung. Upaya ini menunjukkan adanya kesadaran kolektif bahwa pemulihan Ciliwung memerlukan pendekatan konservasi yang menyeluruh dan partisipasi aktif dari semua pihak, dari hulu hingga hilir. Ciliwung adalah cermin peradaban. Kondisinya yang saat ini kritis mencerminkan kegagalan manusia dalam mengelola lingkungan. Mengembalikan Ciliwung sebagai sungai yang bersih dan lestari, seperti julukan "Ratu dari Timur" di masa lalu, adalah pekerjaan rumah besar yang menuntut pergeseran paradigma, dari memandang sungai sebagai tempat sampah atau musuh banjir, menjadi memandangnya sebagai entitas hayati dan warisan sejarah yang harus dihormati dan dijaga. Masa depan Jakarta sangat bergantung pada kesehatan Ciliwung.