У нас вы можете посмотреть бесплатно Kebyar Buleleng Dauh Enjung, Buku или скачать в максимальном доступном качестве, видео которое было загружено на ютуб. Для загрузки выберите вариант из формы ниже:
Если кнопки скачивания не
загрузились
НАЖМИТЕ ЗДЕСЬ или обновите страницу
Если возникают проблемы со скачиванием видео, пожалуйста напишите в поддержку по адресу внизу
страницы.
Спасибо за использование сервиса ClipSaver.ru
Penciptaan musik kebyar awal abad ke-20, pertengahan abad ke-20 bahkan hingga saat ini seolah menjadi magnet pada terbentuknya karya-karya sublim yang terstimulus oleh luapan intlektual, terproyeksikan dalam konstruksi karya seni untuk seni, kemudian dimaknai sebagai spirit rivalitas yang positif. Diktomi dua kutub; Dangin Enjung dan Dauh Enjung yang (me)reinterpretasi(kan) Buleleng Timur dan Barat ; masing-masing dimotori oleh empat seniman besar kenamaan Buleleng, Pan Wandres dan Gede Manik sebagai ikon sepak terjang kesenimanan di wilayah Buleleng Timur ; Ketut Merdana dan I Putu Sumiasa mewakili kesenimanan Buleleng Barat. Mungkin kita akan bertanya apa dasar yang dijadikan parameter untuk mentautkan gelar maestro ataupun ikon yang mewakili daerah secara geografis pada label kesenimanan mereka? Disamping sepak terjang kesenimanan pendahulu kita yang dilakukan secara intensif mengerjakan objek seni—serta dinilai membawa pengaruh besar terhadap perkembangan musik Kebyar, kita mungkin sepakat mengatakan bahwa gelar ini merupakan kesepakatan aklamatif sebagai bentuk apresiasi yang terdalam terhadap pendahulu kita. Mereka telah mempertaruhkan pendengaran, daya pikir intelektual dalam khasanah penciptaan karya musik kebyar selama hampir beberapa dekade hingga akhir hayatnya. Ini bukan waktu yang singkat! Sekitar tahun 1937 Pan Wandres mencipta sebuah legong bergenre kebyar yang kemudian saat ini dikenal sebagai Kebyar Legong. Beberapa dekade setelahnya komposisi ini disempurnakan menjadi tari Trunajaya oleh I Gede Manik. Fenomena penciptaan yang berlangsung secara evolutif nampaknya juga dialami seniman besar dari Dauh Enjung. Seperti misalnya komposisi (musik dan tari) Wiranjaya karya Ketut Merdana, yang beberapa tahun belakangan ini diketahui berasal dari komposisi Kebyar Buleleng Dauh Enjung. Informasi ini diperoleh secara terpisah dari wawancara yang dilakukan dengan informan Made Damendra dan I Ketut Sumirta (Putra bungsu Ketut Merdana). Kebyar Buleleng Dauh Enjung merupakan sebuah komposisi karya Ketut Merdana bersama I Nyoman Sukandia yang sesungguhnya direkonstruksi sejak bulan September tahun 2019, karena beberapa alasan kegiatan ini sempat terhenti. Komposisi ini diciptakan sekitar tahun 1946 dan pertama kali dibawakan oleh sekaa Gong Desa Umejero. Konten-konten komposisi Kebyar Buleleng Dauh Enjung dirasa sebagai substansi yang sengaja dikonstruksi untuk mengimbangi beberapa segmen yang yang terkandung dalam komposisi Kebyar Legong, walaupun sesungguhnya tidak sama persis. Kesungguhan penciptaan komposisi ini terefleksi dari tersedianya ruang terhadap penyertaan jalinan musik untuk musik, namun tidak murahan/terkesan tempelan. Beberapa frase gagenderan dari komposisi ini didesain seolah memberikan jeda bagi penari untuk menyimpan tenaga mereka (ngunda bayu), kemudian melakukan vokabuler gerakan selanjutnya. Pengaruh musik legong dalam beberapa segmen dari komposisi Kebyar Buleleng Dauh Enjung mengindikasikan begitu kuat pengaruh Komposisi legong dalam beberapa substansi musik dan koreografi genre kebyar ini. Tari Kebyar Buleleng Dauh Enjung ditarikan oleh Empat Orang penari yang terbagi ke dalam dua segmen secara terpisah. Kebyar Buleleng Dauh Enjung, sebuah pencarian baru menjawab rivalitas yang konstruktif. Setelah sekian dekade tidak pernah dibawakan dalam format pertunjukan, Kebyar Buleleng Dauh Enjung direkonstruksi oleh Sanggar Seni Suara Mustika, dengan mendatangkan informan (yang ketika penciptaan komposisi ini, merupakan seorang penabuh yang terlibat didalamnya). Rekonstruksi komposisi ini bukan sekadar perilaku “latah” yang dilakukan dengan motivasi “dalam rangka”, melainkan sebuah upaya penghormatan, pencarian serta pemaknaan terhadap spirit penciptaan yang dapat dijadikan tauladan terhadap kehidupan berkesenian saat ini, baik di Bali maupun di Buleleng pada khsusnya. Dalam rekonstruksi ini harus dimaklumi bahwa apa yang direinterpretasikan saat ini sebagai hasil rekonstruksi tidak 100% merupakan kejadian atau fenomena natural penciptaan saat itu. Sebagaimana hakekat sebuah rekonstruksi yang menitik-beratkan pada penafsiran informasi untuk membangun substansi yang dulu pernah eksis namun telah lama mati oleh waktu. Namun demikian, upaya merekonstruksi komposisi Kebyar Buleleng Dauh Enjung telah diupayakan untuk sebisanya meminimalisir dan menjauhkan muatan subjektif para informan untuk menakar kadar ketidakjujuran konstruksi ini.