У нас вы можете посмотреть бесплатно KISAH MISTERI ❗❗❗AUMAN DI MALAM SURO или скачать в максимальном доступном качестве, видео которое было загружено на ютуб. Для загрузки выберите вариант из формы ниже:
Если кнопки скачивания не
загрузились
НАЖМИТЕ ЗДЕСЬ или обновите страницу
Если возникают проблемы со скачиванием видео, пожалуйста напишите в поддержку по адресу внизу
страницы.
Спасибо за использование сервиса ClipSaver.ru
Angin dingin bulan Muharram menusuk hingga ke tulang, membawa aroma tanah basah dan kemenyan yang dibakar warga desa untuk menyambut pergantian tahun Jawa. Di dalam gubuk tua yang sunyi, Mijan terbaring di atas tikar pandan. Tubuhnya menggigil hebat, namun dahinya terasa membara. Ia berusia dua puluh dua tahun, namun malam ini, ia merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang tak berdaya. Bukan demam biasa; ini adalah demam yang membawanya ke tepi kesadaran. Sejak senja tadi, Mijan dihantui halusinasi. Setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat warna hitam pekat. Dan dari kegelapan itu, muncul dua titik kuning berpendar. "Mijan... bangunlah, Nak." Suara itu serak dan berbisik, bukan suara Ki Jaya, kakeknya. Suara itu terasa berat, seperti auman yang diredam, bergetar di dalam rongga dada Mijan. Mijan membuka mata cepat-cepat. Kamarnya gelap, hanya diterangi oleh lampu teplok yang mengeluarkan cahaya oranye redup. Ia sendirian. "Hanya mimpi..." gumamnya, menarik selimut usang hingga menutupi dagu. Saat Mijan mencoba kembali tidur, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang sangat berat di luar. Langkah itu bukan langkah manusia. Itu terlalu berirama, terlalu lambat, dan terlalu berat. Gruk... Gruk... Langkah itu berhenti tepat di depan jendela kamar Mijan. Jantung Mijan berdegup kencang, memukul rusuknya seolah ingin keluar. Ia menahan napas. Rasa dingin yang tadi menusuk kini digantikan oleh rasa panas yang membakar. Kemudian, bayangan itu muncul. Di balik tirai jendela yang tipis, Mijan melihat siluet. Siluet seekor makhluk besar, jauh lebih besar dari anjing atau kambing. Bentuknya menyerupai macan, dengan postur yang tegap dan ekor yang panjang dan terkulai. Kepalanya besar, dan Mijan bisa merasakan tatapan mata kuning yang sama seperti yang ia lihat dalam mimpinya, kini menembus kegelapan malam. Auman itu. Kali ini, Mijan mendengarnya dengan jelas, meski sangat pelan. Auman itu bukan ancaman, melainkan panggilan. Panggilan yang terasa akrab, seperti memanggil pulang. Mijan refleks mengangkat tangannya dan menyentuh dada. Ia merasakan sebuah denyutan energi yang aneh, seolah ada sesuatu yang besar dan liar mencoba keluar dari tubuhnya. Brak! Pintu kamar Mijan terbuka keras. Ki Jaya, kakek Mijan yang berusia tujuh puluhan, berdiri di ambang pintu, membawa lampu minyak. Wajah tuanya yang biasanya tenang kini terlihat tegang. "Tutup matamu, Jan! Jangan lihat ke luar!" perintah Ki Jaya, suaranya mengandung wibawa yang berbeda dari biasanya, wibawa seorang sesepuh yang menguasai ilmu. Mijan mengikuti perintah itu. Ia menutup mata, dan saat ia melakukannya, rasa panas di tubuhnya mereda, dan ia mendengar suara Ki Jaya membaca mantra pendek, disusul oleh suara desisan kuat dari luar jendela, seperti ular raksasa yang kesakitan. Gruk... Gruk... Langkah kaki berat itu menjauh, perlahan menghilang ditelan keheningan malam. Ki Jaya meletakkan lampu. Ia duduk di samping Mijan dan memegang dahinya. "Bukan demam biasa, Nak. Sudah saatnya," kata Ki Jaya dengan suara yang bergetar. Mijan menatap kakeknya, bingung dan ketakutan. "Apa yang sudah saatnya, Kek? Apa yang ada di luar itu?" Ki Jaya menghela napas panjang, menatap Mijan dengan tatapan serius. "Itu Khodam Macan Putih kita, Jan. Leluhur sudah memilihmu. Malam Satu Suro ini, ia datang untuk menjemputmu sebagai pewaris garis darah. Engkau tidak lagi Mijan yang biasa. Kau harus menerima kekuatan itu... atau desa ini akan dilahap kegelapan." Keesokan paginya, matahari bersinar cerah seolah malam itu hanyalah mimpi buruk. Demam Mijan hilang tanpa bekas. Mijan keluar rumah dengan langkah ragu. Ia berjalan ke pekarangan depan. Di tanah yang masih basah oleh embun, ia melihatnya. Tepat di bawah jendela kamarnya, ada empat bekas goresan dalam di tanah. Goresan itu besar, panjang, dan lebar. Bukan bekas kaki manusia, bukan juga bekas cangkul. Itu adalah bekas cakar raksasa yang jelas dan tak terbantahkan, tanda bahwa apa yang ia lihat semalam adalah nyata. #khodammacanputih #hororindonesia #folklorejawa #malamsatusuro